Selamat Datang di fiqyud.blogspot.com , semoga informasi ini berguna bagi anda. jangan lupa berkunjung kesini lagi ya..

Senin, 14 September 2009

Hermeneutika Sakra yang Membebaskan


TANDA tanya di ujung judul buku ini menyimbolkan tantangan sekaligus telaah kritis dari seorang pe­mikir muslim garda depan asal Me­sir, Hassan Hanafi, terhadap ke­berlangsungan dan dialektika tradisi ilmu-ilmu tafsir Alquran sebagai sistem hermeneutika khusus (her­meneutica sacra), yang tidak lain adalah urat nadi pertumbuhan ke­budayaan dan peradaban umat Islam. Kritik Hanafi itu ibarat kapak ber­mata dua. Yang satu dia arahkan pada kejumudan pola diskursus tafsir klasik Islam, sedangkan yang kedua diarahkan pada diskursus orientalisme yang banyak mengarah pada bentuk-bentuk pemaknaan yang sangat politis dan riskan.

Pandangan mendasar hermeneutika Hanafi melihat bahwa teks Al­quran adalah mahateks yang ke­sa­kralan revelasi dan otentisitas me­tahistorisnya terjamin total se­ratus persen. Barulah dalam apli­kasi historisnya, teks Alquran ''mem­butuhkan'' suatu ke­ter­libatan eksistensial manusiawi, yang hal itu adalah tindakan-tindakan pe­nafsiran yang relevan dengan ka­rakter sosio-kultural masyarakat yang melingkupinya.

Prinsip itulah yang Hanafi pegang dengan konsisten sejak dulu sampai sekarang. Dengan prinsip itu pula, hermeneutika Hanafi menjadi epistemologi yang paling jernih dalam melihat dan memetakan problematika penafsiran Alquran secara global.

Berbeda dengan pakar hermeneuti­ka lain, misalnya Nasr Hamid Abu Zayd, yang memandang bahwa se­bagai sebuah teks, Alquran pada dasarnya adalah produk budaya (Nasr Hamd Abu Zayd, Tekstualitas Alquran, 2000). Zayd seolah menghilangkan kemurnian transendental da­lam proses pewahyuan Alquran dan melihat bahwa dimensi her­me­neu­tik teks Alquran berlaku secara vertikal, bahwa Nabi Muhammad ada­lah penafsir aktif terhadap Tuhan sebagai pemberi wahyu. Setelah dimakmumi selama puluhan tahun, hermeneutika yang penuh bias relativitas berlebihan itu kemudian oleh Zayd direvisi sendiri di hadapan khalayak pada acara International Ins­titute for Quranic Studies, Juni 2008. Dia akhirnya menyatakan per­sis seperti teori Hanafi bahwa her­meneutika Alquran bersifat ho­rizontal (nabi dengan umat) dan tidak mungkin berlaku secara vertikal antara nabi dan Tuhan.

Krisis Ilmu Tafsir

Berangkat dari krisis tradisi tafsir di Mesir, Hanafi membangun (oto)kritik hermeuneutikanya. Dia melihat banyak involusi dalam tradisi tafsir Quran Mesir yang dari segi pola, hal itu juga terjadi dalam tubuh tradisi tafsir negara-negara Islam lain, tak terkecuali tradisi tafsir di Indonesia. Karena itu, kritik konstruktif Hanafi juga sangat mengena untuk memahami persoalan krisis keberagamaan di Indonesia ini.

Krisis itu, menurut Hanafi, adalah keterpakuan yang alot terhadap tradisi tafsir masa lalu. Suatu diskursus tafsir Quran akan diakui validitas dan otoritasnya sejauh dia memiliki kesahihan riwayat (al-ma'thur) dari genealogi teks mazab-mazab induk. Masa lalu menjadi dasar dan induk penilaian untuk masa kini dan masa depan. Padahal, bentuk-bentuk fenomena baru yang terlahir di masa kini memiliki kompleksitas yang tidak selamanya bisa diqiyaskan (diperbandingkan) de­ngan hukum masa lalu yang memiliki basis fenomenologis sendiri.

Budayawan Ali Ahmad Said (Adonis) melihat hal itu sebagai ''yang statis'' (as-tsabit) dalam seja­rah intelektual Islam. Perjalanan il­mu tafsir bergerak secara sentripe­tal. Itu tecermin dari karakter pola taf­sir berparadigma tradisional yang ha­nya berkutat di sekitar sarah (ko­mentar), tafsil dan bagian-bagian yang tidak memperhatikan makna in­dependen teks, dan kondisi kon­tem­porer umat (hlm 11). Karena itu, Hanafi mengusulkan adanya tradisi taf­sir yang benar-benar baru, yang bisa saja lepas dari mata rantai tradisi tafsir. ''Lepas'' di sini tidak ber­makna a-historis, namun justru harus menjadi mata rantai yang ''me­lompat'' dan melampaui makna-makna masa lalu dan menjadi pin­tu baru bagi masa depan.

Kedua, kelemahan tradisi penafsiran saat ini lebih diarahkan pada di­mensi dogmatis-teologis ketimbang dimensi manusia dalam hu­bungannya dengan alam dan orang lain. Tradisi tafsir menjadi over-vertikal dan seakan lupa pada yang horizontal. Padahal, me­nu­rut Ha­nafi, tafsir haruslah so­lutif bagi per­masalahan-perma­salahan sosial dan mencerahkan ba­gi kehidupan ma­nusia. Dia me­l­ihat kemandulan sosial tafsir di­latarbelakangi oleh ketiadaan pola analisis pengalaman yang me­madai dalam melihat masa ki­ni. Asababun nuzul tafsir tradisio­nal haruslah berubah menjadi situasi kemanusiaan yang hadir sa­at ini dan dipahami lewat intuisi feno­menologis para mufasir sendiri.

Ada juga nada Foucaultian dalam kri­tik Hanafi. Dia juga melihat bah­­wa ketertutupan tafsir tradisio­nal pada pembaruan (tajdid) itu ti­dak terlepas dari kepentingan ke­las para mufasir yang oleh Sayyid Qutb dinamakan sebagai the pro­fes­­sional men of religion untuk me­­­ma­­pankan status sosialnya. De­ngan reorientasi sosiologis yang le­bih egaliter dan terbuka, se­sungguh­nya tradisi tafsir Quran bisa lebih kreatif dan leluasa dalam me­ngembangkan sayapnya.

Namun, satu hal yang patut di­per­tanyakan adalah nuansa pemi­ki­rannya yang kental dengan rasa di­ko­tomi Timur-Barat. Hanafi sela­ma ini memang dikenal sebagai penggagas utama oksidentalis­me dan ru­­pa­nya itu turut memenga­ruhi pula pan­dangan aplikatif terhadap hermeneutikanya. Padahal, bukankah istilah ''Timur-Barat'' sendiri sudah se­makin mencair saat ini?

Untuk mengimbangi kecende­ru­ngan keterpakuan pada riwayat teks, Hanafi menekankan bahwa tra­­­­disi tafsir harus ''kembali kepa­da Alam'' dan bukan sekadar ''kem­­­­­­­­bali kepada sumber'' (Sola Scri­p­­­­tura). Dengan itu, ilmu tafsir bisa mempertajam dan memperluas pandangan dunianya terhadap ayat-ayat kauniyah yang tidak lain adalah realitas sosial dan semesta itu sendiri. Padahal, ini sesungguhnya sudah banyak dilakukan oleh tradisi tafsir scientific Alquran oleh para saintis muslim, seperti Harun Yahya, juga saintis muslim era 80-an semacam Ismail Al-Farouqi yang hidup di masa periode kreatif Hanafi mencapai puncaknya. Dan, itu seharusnya diperhatikan secara lebih intensif dan terfokus oleh Hanafi maupun para intelektual yang bermakmum di belakangnya. (*)

---

Judul Buku : Hermeneutika Alquran?

Penulis : Hassan Hanafi

Penerbit : Nawesea Press, Jogjakarta

Cetakan : I, 2009

Tebal : xiv + 116 halaman
» Read more → Hermeneutika Sakra yang Membebaskan

Sabtu, 12 September 2009

WELCOME TO TOURISM INDONESIA (BALI PROVINCE)



Tourism in Bali is the most advanced sectors and develop,
but still more likely to develop more modern again,This area has a diverse attractions,good nature tourism, historical tourism and cultural tourism.Nature Tourism,for example, includes 47 attractions, such as the panorama at Kintamani, Kuta Beach, Tanah Lot, Nusa Panida, Nusa Dua, Karang Asem, Lake Batur, Danau Bedugul, Sangieh Nature Reserve, West Bali National Park and Menjangan Island Marine Park,Tour includes 83 cultural attractions, such as art tours in Ubud, Tanah Lot the sacred site,Barong ceremony in Jimbaran and a variety of places and art galleries are now popping up in many places on the island of Bali.Objects of cultural tourism is growing rapidly, Let alone many works of art produced by painters and sculptors from Bali.In fact, there are some northern painters who had long lived in Bali, Like Mario Blank, Arie Smith, Rudolf Bonner and so on.
BEDUGUL
Bedugul tourist resort,which is located in Tabanan regency, offers the soothing atmosphere of the hills and the beauty of the lake Tamablingan.
TANAH LOT
Located in the village Beraban or 13 km west of Tabanan,Pura Tanah Lot is almost always offered by every tour guide in Bali to be visited.A cool place to take pictures of this sunset (while sitting and drinking young coconut)memiliki keunikan antara lain lokasi pura yang berada diatas bukit batu besar pinggir laut. during high tide and no more than knee-lengthwe can still cross into the place.
» Read more → WELCOME TO TOURISM INDONESIA (BALI PROVINCE)

Kamis, 03 September 2009

Award Kategori Unik untuk Proyek Cuci Darah Pemkab Gresik

Tahun ini The Jawa Pos Ins­titute of Pro-Otonomi (JPIP) menganugerahkan Otonomi Award kategori unik kepada Kabupaten Gresik. Terobosan cuci darah gratis di RSUD Ibnu Sina layak ditiru daerah lain. Berikut ulasan peneliti JPIP Redhi Setiadi.

RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Ibnu Sina Gresik kini menjadi langganan suami istri asal Kecamatan Sekaran, Lamongan ini, Kasturi, 54 dan, Muslikah, 45. Dalam se­minggu mereka dua kali mampir ke situ untuk keperluan cuci darah sang istri.

Kasturi terlihat begitu sabar menemani sang istri yang duduk di kursi roda. Badan dan kaki Muslikah yang kini mengidap gagal ginjal kronis itu membengkak. Sesekali Kasturi mengusap kaki sang istri saat mereka menunggu antrean di lorong ruang tunggu unit hemodialisis.

Penyakit ini menjadi ujian berat bagi keluarga dengan tiga anak tersebut. Kasturi kini berkonsentrasi penuh merawat istrinya yang kadang-kadang sesak napas. Pekerjaannya sebagai penjual soto ayam terpaksa ditinggalkan.

Mereka kini habis-habisan. Untuk se­kali cuci darah dia harus merogoh kocek hingga Rp 690 ribu. Dan, sejak lima bulan lalu istrinya harus cuci darah hingga dua kali seminggu.

"Jangan tanya biayanya, Mas. Kami sudah entek-entekan," cerita Kasturi.

Kini dia bisa sedikit bernapas lega sete­lah cuci darah di RSUD Ibnu Sina Gresik. Sebab, di RS milik pemkab Gresik itu dia akan mendapat potongan harga hingga 50 persen. Dengan demikian, dia tinggal membayar Rp 345 ribu untuk sekali cuci da­rah. Ini berkat diberlakukannya Peraturan Bupati (Perbup) Gresik Nomor 73 Tahun 2008 tentang Pelayanan Hemodialisis di RSUD Ibnu Sina Gresik.

Perbup yang disahkan pada 21 November 2008 itu bertujuan membantu meringankan beban ma­syarakat Gresik dari ting­ginya biaya pengobatan gagal ginjal, terutama untuk pelayanan cuci darah. Perbup itu menetapkan membebaskan biaya pelayanan cuci darah bagi ma­syarakat tidak mampu yang tidak dilayani jaminan ke­sehatan masyarakat (Jamkesmas). Syaratnya, pasien hanya menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) Gresik.

Bagaimana pasien cuci darah dari luar Gresik? Masyarakat yang bukan warga Gresik, seperti Muslikah yang asal La­mongan itu, diberi keringanan hingga 50 persen. Syaratnya dia menunjukkan surat keterangan tidak mampu (SKTM).

Toleransi ini sebenarnya diberikan sampai batas waktu akhir 2008 lalu. Pada 2009 mestinya ketentuan keringanan bia­ya itu tidak berlaku lagi. Namun, kondisi itu menjadi dilema bagi RSUD Ibnu Sina. Sebab, menghentikan cuci darah bisa berakibat fatal bagi pasien. Karena itu, kebijakan yang sarat misi kemanusiaan itu tetap dilanjutkan.

Menurut keterangan Wakil Direktur RSUD Ibnu Sina dr Titik Dyah Widowati, untuk keberlanjutan program ini ke depan pihaknya mulai merintis kerja sama dengan beberapa pemerintah daerah sekitar Gresik untuk membantu menanggung biaya pasien cuci darah yang berasal dari luar Gresik.

"Koordinasi dan komunikasi intensif sudah kami lakukan dengan pemerintah daerah tetangga. Sebab, rumah sakit ini sudah menjadi rujukan bagi pasien cuci darah dari Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Mojokerto, bahkan Madura," kata dr Widowati.

Manajemen rumah sakit yang terletak di Jalan Dr Wahidin Gresik tersebut berharap tahun ini kerja sama antardaerah untuk meringankan beban pasien cuci darah itu sudah tertuang dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU).

"Untuk saat ini, baru Kabupaten Mojo­kerto yang memberikan jaminan biaya warganya yang menjadi pasien tetap cuci darah di RS Ibnu Sina. "Semoga langkah Pemkab Mojokerto ini diikuti kabupaten lain," kata dr Widowati berharap.

Kerja sama antardaerah dalam pengobat­an pasien gagal ginjal inilah yang akhir­nya mengantarkan Kabupaten Gresik meraih penghargaan Otonomi Award 2009 dari JPIP. JPIP melihat, komitmen Pemkab Gresik untuk tetap memberikan pelayanan dan keringanan biaya bagi pasien cuci daerah meski bukan warga Gresik merupakan terobosan yang patut diapresiasi di era otonomi daerah saat ini.

Masalah kemanusiaan adalah masalah universal lintas batas yang tidak bisa dikalahkan hanya oleh faktor administrasi kewilayahan. Demi rasa kemanusiaan, sekat-sekat administrasi yang membatasi daerah harus bisa diterobos dan dicarikan solusinya. Salah satunya melalui kerja sama antardaerah. Karena itu, JPIP menganugerahkan OtonomiAward 2009 kategori unik Daerah dengan Komitmen Menonjol pada Kerja Sama Antardaerah dalam Penyediaan Pelayanan Cuci Darah bagi Warga Miskin.

Menurut data administrasi unit hemo­dialisa, saat ini ada sekitar 34 pasien cuci darah yang berasal dari luar Gresik. Mere­ka rutin melakukan cuci darah di RSUD Ibnu Sina. Yang terbanyak berasal dari Kabupaten Lamongan. Disusul kemudian oleh pasien dari Mojokerto dan Jombang.
» Read more → Award Kategori Unik untuk Proyek Cuci Darah Pemkab Gresik

Rabu, 02 September 2009

6 JAM BERBAGI KASIH BERSAMA ANAK YATIM

Dalam rangka mengisi bulan suci Romadon 1430H
Dengn ini kami bermaksud menyelengarakan sebuah kegiatan berbagi kasih bersama teman-teman
dari yayasan jalaludin pogar bangil,Adapun pemilihan yayasan tersebut didasarkan pada profil
yayasan yang sampai saat ini hanya mengandalkan donasi dari kepedulian masyarakat sekitar
melaksanakan kegiatan operasionalnya.yayasan ini memiliki 53anak asuh dengan latar belakang
pendidikan sekolah Dasar hingga menegah pertama.
Yayasan jalaludin pogar memiliki pengurus yang berasal dari tokoh masyarakt sekitar dan
pengurus rukun tetangga setempat,untuk melapor kan hail donasi dan penyaluran dana telah dibuat dengan cara profesional
dan transparan setiap tahunnya sehingga seluruh warga bisa mengetahui aliran dana dan pengunaan dari donasi tersebut
yayasan ini memiliki satu gedung utama sebagai pusat kegiatan teman-teman penghuni panti yang terletak di kelurahan
pogar,Bangil Pasuruan
Beberapa ayat AL QU`RAN yang menjelaskan tentang pentingnnya bersikap peduli terhadap anak-anak yatim;
....``tentang dunia dan ahirat,Dan mereka bertanyak kepada mu (Muhamad) tentang ANAK YATIM Katakan lah
```KATAKAN LAH MENGURUS MEREKA ADALAH BAIK```dan jika kamu mengauli mereka,mak mereka adalah saudaramu
ALLOH mengetahui orang yang berbuat kerusakan danyang berbuat kebaikan.dan jika ALLOH menghendaki,niscahya dia dapat
mendatang kan kesulitan padamu.sesungguhnya ALLOH mahaperkasa lagi maha bijak sana ``(QS. ALBAQARA:220)
``kEBIJAKAN itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat,tetapi sesungguhnya kebijakan itu ialah beriman
kepada ALLOH,hari kemudian,mlaikat-malaikaat,kitab-kitab,nabi-nabi,danmemberikan harta yang dicintainya kepada kerabet,
ANAK_ANAK YATIM,orang-orang miskin,musafir (yang memerlukan pertolaongan)dan orang-orang yang meminta minta; (dan memerdekakan)
hamba sahaya,mendirikan solat,dan menunaikan zakat;dan orang-orang yang menepati janjinya apa bila mereka berjanji,dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan,penderitaan dan dalam peperangan.mereka itulah orang-orang yang benar (imannya);dan merekah itulah orang-orang
yang bertaqwa.```(QS.AL BAQARA:215)
```bARANGSIAPA meminjami (menginfakkan hartanya di jalan alloh)kepada ALLOH dengan pinjaman yang baik, mak ALLOh melipat gandakan
ganti padanya dengan banyak. ALLOH menahan dan melapangkan (rizeki) dan kepadanya lah kamu di kembalikan``(QS AL BAQARA:254)``
Demikian beberapa ayat yang mewajibkan kit untuk selalu bersikap peduli terhadap anak yatim dan menginfakkan harta yang baik yang
telah di karuniakan ALLOH SWT kepada kita. semoga kita dapat hikmah dari petunjuk-petunjuk ALLOH SWT melalui kitab suci alqur`an.
Bagi siapa saja yang ingin ikut acara ini silakan datang langsung
Adpun acara akan dilaksanakan:
Hari : Kamis
Tanggal :10 september
Pukul :14:00 WIB-20:00 WIB
tempat :yayasan jalaludin pogar bangil (utara stadion pogar bangil)
Yayasan jalaludin juga membuka pintu selebar-lebarnya bagi anda yang berminat untuk menjadi donatur dengan menghubunggi pengurus yayasan
danagn alamat:JL.BONDOSULUNG NO.63 POGAR, BANGIL PAASURUAN
TLP : 0343-741453,742608



''' MARI BERBAGI KASIH DIBULAN SUCI'''
» Read more → 6 JAM BERBAGI KASIH BERSAMA ANAK YATIM

Selasa, 01 September 2009

Puasa dan Perdamaian

Sejarah umat manusia adalah sejarah peperangan dan pertikaian antara dua kubu yang saling berkepentingan. Lebih ekstrem dari itu, Ibnu Khaldun, sejarawan muslim abad pertengahan dalam karya agungnya Muqaddimah juga menegaskan, \'perang dan berbagai bentuk pertarungannya selalu akan terjadi sejak Allah menciptakan dunia\'.

Konflik yang terjadi antara Qabil dan Habil, putra Adam As, pada permulaan sejarah manusia merupakan bentuk pertikaian awal dalam episode kehidupan manusia di muka bumi. Dalam rangkaian kehidupan umat manusia selanjutnya, di sini dan di bumi ini, pertarungan tersebut akan terus berkecamuk dalam segala bentuk dan wujudnya yang berbeda-beda. Hal ini semakin mentakidkan (memperkuat) fakta ilmiah, bahwa kehidupan, manusia, dan sejarah didasarkan atas kontradiksi dan pertarungan.

Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa seluruh rangkaian sejarah manusia merupakan arena pertarungan antara kelompok Qabil si pembunuh, dan kelompok Habil yang menjadi korbannya. Qabil dan Habil dalam perspektif filsafat sejarah Shariati merupakan aktor utama dalam panggung sejarah dunia. Setiap manusia, baik secara individu maupun kolektif akan memilih satu peran di antara dua tokoh besar itu, Qabil atau Habil. Secara tipologis, Qabil berperangai jahat, kasar, dan suka membunuh. Sebaliknya Habil berkepribadian baik, ramah, dan pemaaf.

Kekerasan

Melalui teori di atas, kita dapat menarik kesimpulan. Bahwa kekerasan dalam berbagai bentuk dan terornya, merupakan bagian dari perjalanan hidup manusia yang mau tidak mau harus dihadapi dan diselesaikannya, bukan untuk ditinggalkan begitu saja. Karena, bagaimanapun juga makhluk yang bernama \'kekerasan\' ini akan selalu muncul dalam setiap tarikan napas kehidupan manusia, di saat manusia tidak mampu lagi untuk menundukkan dan meletakkannya di bawah kuasa akal sehat dan iman kepada Allah SWT.

Sebagai makhluk ciptaan Allah yang dibekali insting, seperti rasa lapar, haus, dan juga rasa aman, manusia sejatinya memenuhi kebutuhan instingnya itu dengan cara berinteraksi, berkomunikasi, dan bersentuhan langsung dengan makhluk di luar dirinya, baik itu tumbuh-tumbuhan, binatang, ataupun manusia sejenisnya. Karena, dengan melakukan interaksi keluar, manusia akan memenuhi kebutuhan instingnya itu dengan sempurna. Bukankah manusia adalah makhluk sosial.

Meski demikian, dalam melakukan interaksi ke luar setidaknya manusia akan dihadapkan pada dua pilihan yang harus dihadapinya, \'perdamaian\' yang melahirkan kesejahteraan atau \'permusuhan\' yang berpotensi melahirkan kekerasan dan bencana. Perdamaian dan permusuhan yang terjadi di dunia ini laksana dua mata uang yang saling menyertai manusia, sehingga batas antara keduanya sudah tidak lagi dapat diverifikasi dan dibedakan. Sekarang damai, esok maupun lusa bisa saja terjadi peperangan dan pengeboman di mana-mana, seperti yang terjadi di Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton Jakarta, 17 Juli lalu.

Berkaitan dengan hal di atas tadi, Murthada Muthahari, cendekiawan Islam asal Iran, menegaskan Allah SWT memberikan kepada setiap manusia dua kecenderungan: fujur (manifestasi kejahatan) dan takwa (manifestasi kebaikan). Dua kecenderungan ini disebut oleh Muthahari sebagai dua dimensi yang selalu berlomba dan berkompetisi untuk mengalahkan satu sama lain. Kekuatan apa pun yang muncul dan mendominasi, ia akan menjadi cermin dari orang yang bersangkutan.

Jika dimensi takwa lebih mendominasi dalam sikap dan perilaku seseorang, kebaikan, kedamaian, dan sikap saling membutuhkan akan menjadi cermin pribadinya ketika ia berinteraksi keluar. Artinya, antara manusia satu dan manusia yang lainnya memosisikan dirinya sebagai makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran akan yang lain.

Sementara itu fujur (kejahatan) akan terjadi sebaliknya, satu sama lain saling mengutamakan ego dan keakuannya, tidak berusaha untuk memahami yang lain, justru menjadikan yang lain sebagai lawan yang harus dimusuhi. Sikap seperti ini sungguh berbahaya, dan sangat berpotensi merusak ketenteraman dan kedamaian yang diidam-idamkan banyak pihak. Karena itu, salah satu jalan terbaik bagi kita adalah meninggalkan fujur dan menggantinya dengan takwa.

Lalu bagaimana caranya agar kecenderungan takwa itu lebih mendominasi dalam setiap aktivitas manusia di dunia? Bagaimana pula kita menundukkan ego dan kejahatan sebagai manifestasi dari fujur itu?

Berpuasa

Untuk mengarah ke sana--dominasi takwa (kebaikan) atas fujur--ibadah puasa yang akan segera kita (muslim) lakukan pada bulan ini menjadi solusi nyata dalam menangani hal tersebut. Sebab ibadah puasa, sebagaimana Alquran tegaskan dalam surah al-Baqarah, ayat 183, yang pengertiannya adalah agar manusia meraih derajat takwa sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Puasa tidak hanya sebagai wahana yang memediasi hubungan manusia dengan Tuhannya, tapi juga sebagai upaya untuk merajut derajat takwa yang termanifestasi dalam kebaikan dan kedamaian bagi sesama manusia di muka bumi ini.

Kenapa harus dengan puasa? Karena dengan melakukan puasa akan ditempuh sikap; pertama, menahan amarah; kedua, saling memaafkan; dan ketiga, berbuat amal kebajikan. Ketiga hal ini bagi kehidupan manusia menjadi fundamen. Poin pertama, kedua, dan ketiga sama pentingnya, dan tidak mungkin untuk dipisahkan.

Menahan diri untuk tidak marah kepada sesama adalah suatu kebajikan dan budi pekerti yang terpuji. Tapi, jika sikap ini tidak dibarengi dengan sikap memaafkan, maka tidak bisa digolongkan pada orang yang bertakwa, tapi sebagai orang pendendam dan emosional. Sifat dendam itu sendiri selalu menebarkan benih-benih permusuhan dan kekerasan antarsesama manusia. Begitu pula dengan kita memaafkan orang lain tanpa dilanjutkan dengan kebaikan dan keluhuran amal, tidak dapat digolongkan juga pada orang-orang yang bertakwa, tapi sebagai orang yang munafik. Di mulut memaafkan, tetapi tindakannya menyakitkan. Pandai berjanji, tetapi tidak bisa menepati. Orang seperti itu, hatinya masih dipenuhi dengki dan kebencian.

Puasa Ramadan sebagai kewajiban bagi umat Islam di seluruh dunia mengandung pesan moral yang sangat luhur. Jika dilihat dari sisi kebahasaan, puasa berarti al-imsak (menahan). Maka, dalam pengertian syariat, puasa adalah menahan aneka keinginan pada diri, baik nafsu positif seperti makan, minum, dan bersetubuh dengan istri, maupun nafsu negatif seperti ingin mencaci maki, menggunjing, dan ghibah.

Dengan begitu, pengertian puasa bisa ditarik pada pemahaman untuk menahan diri dari amarah dan murka, memaafkan sesama, dan berbuat kebajikan sosial. Puasa akan meningkatkan kepekaan kita untuk membantu orang lain dan melatih jiwa sosial kita untuk senantiasa peduli terhadap penderitaan orang. Dengan begitu, kedamaian di dunia akan terwujud.
» Read more → Puasa dan Perdamaian