Selamat Datang di fiqyud.blogspot.com , semoga informasi ini berguna bagi anda. jangan lupa berkunjung kesini lagi ya..

Kamis, 02 Desember 2010

PUASA BULAN MUHARRAM,TASU`A DAN `ASYURA

Tasu’a berasal dari bahasa arab tis’a artinya sembilan, sementaraasyura berasal dari asyara artinya sepuluh. Puasa Tasu’a danAsyura dikerjakan pada tanggal 9 dan 10 Muharram pada Kalender Hijriyah. Tahun ini (1432 H) puasa Tasu’a dan Asyura dikerjakan pada hari Rabu dan Kamis (15 dan 16 Desember 2010 ). Hukum puasa ini adalah sunnah; dianjurkan untuk dikerjakan namun tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya.

Rasulullah SAW berdabda: “Puasa itu bisa menghapuskan dosa-dosa kecil pada tahun kemarin.” –(HR Muslim)

PuasaAsyura sudah dilakukan oleh masyarakat Quraisy Makkah pada masa jahiliyyah. Rasulullah SAW juga melakukannya ketika masih berada di Makkah maupun seteleh berada di Madinah.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah sempat diprotes oleh umat Islam di Madinah: “Ya Rasulallah, hari itu (’Asyura )diagungkan oleh Yahudi.” Maksudnya, kenapa umat Islam mengerjakan seseatu persis seperti yang dilakukan oleh umat Yahudi? Beliau lalu bersabda: "Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.” Setelah itu, tidak hanya disunnahkan puasa pada tanggal 10 tapi juga tanggal 9 Muharram. Sayang, sebelum datang tahun berikutnya Rasulullah telah wafat.

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 dimaksudkan agar tidak persis seperti yang dilakukan oleh umat pada masa Nabi sebelumya, yakni Yahudi dan Nashrani. (Fathul Bari 4: 245)

Soal kemiripan dengan puasa umat yahudi ini diriwayatkan bahwa ketika tiba di Madinah, Rasulullah melihat orang-orang Yahudi di sana juga berpuasa pada hariAsyura. Beliau bertanya: “Puasa apa ini?" Mereka menjawab: “Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur.” Maka beliau bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” (HR Bukhari)

Jauh-jauh hari setelah Rasul wafat, hariAsyura' dijadikan oleh kelompok Syi'ah, yakni kelompok yang sangat mengagungkan Sayyidina Ali dan keluarganya, sebagai hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Kebetulan Sayyidina Hussein terbunuh pada hari itu juga di Padang Karbala.

Pada setiap hariAsyura, kelompok Syiah memperingati kematian Husen dengan cara berkumpul, menangis, meratapinya secara histeris, membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukuli badan mereka dengan rantai besi dan belati, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan lain sebagainya.

Sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh orang Syi'ah di atas, orang kelompok umat Islam yang lain menjadikan hari Asyura' sebagai hari raya, pesta dan serba ria. Dua budaya yang sangat kontras ini terutama berlangsung pada jaman dinasti Buwaihi (321H-447 H.). Pada masa itu terkenal adanya pertentangan antara Sunni dan Syi'ah dengan tajamnya.

Karena itu, sedianya, hariAsyura diisi dengan ibadah puasa saja sebagaimana telah dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tentang keutamaan puasaAsyura Ibnu Abbas menyatakan: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa pada suatu hari karena ingin mengejar keutamaannya selain hari ini (‘Asyura) dan tidak pada suatu bulan selain bulan ini (maksudnya: bulan Ramadhan)." (HR. Al-Bukhari.)

* Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menganjurkan pada hari Tasu’a danAsura ini umat Islam di Indonesia juga memperbanyak istigfar (atau membaca astaghfirullahal adzim) meminta ampun kepada Allah dan membaca hauqolah (la haula wala quwwata illa billahilaliyyil adzim) sebagai bentuk pengakuan bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah. Semoga Allah SAW menurunkan rahmat-Nya dan menghilangkan segala bencana. (Anam)
» Read more → PUASA BULAN MUHARRAM,TASU`A DAN `ASYURA

Sabtu, 23 Januari 2010

Ibu pertiwi menangis


BENCANA LAGI
Bencana lagi belum lagi kering air mata ibu pertiwi kini sudah menangis lagi,semua itu terjadi karena lingkungan sudah tidak mau bersahabat lagi dengan manusia,kita harus pandai pandai mengambil hikma dari semua,alloh ber firman: telah nampak kerusakan di darat dan di laut karna tangan-tangan manusia itu sendiri:
untuk mencegah datang nya bencana diperlukan kerjasama semua pihak
salah satunya mungkin kita harus bisa menjaga hutan- hutan kita dari kegundulan
biasakan jangan membuang sampah di sungai karna bisa menyumbat aliran sungai jadi dangkal bisa menyebabkan banjir;
mengurangi pengunaan rumah kaca,agar gunung es di kutub sana tidak terus mencair
» Read more → Ibu pertiwi menangis

Kamis, 21 Januari 2010

Memajukan Sekolah tanpa Diskriminasi


SECARA ideal, sekolah adalah rumah kedua bagi anak didik. Namun dalam realitasnya, tidak jarang sekolah justru menjadi tempat ''menakutkan'' yang membuat siswa tidak nyaman di dalamnya. Tentu saja, ada banyak faktor yang mengakibatkan kondisi yang memprihatinkan tersebut. Salah satu di antaranya mungkin apa yang oleh Paulo Freire disebut dengan ''dehumanisasi pendidikan'', yaitu tempat pendidikan layaknya penjara, yang memosisikan siswa sebagai objek dan guru sebagai subjek.

Dalam bahasa yang lebih praktis, menurut penulis buku Sekolahnya Manusia ini, model pendidikan yang demikian diistilahkan sebagai ''sekolah robot'', yang indikasinya dapat dilihat pada proses pembelajaran, target keberhasilan sekolah, sampai pada sistem penilaiannya. Tetapi dalam buku ini, Munif Chatib hendak mengembalikan sekolah pada maksud dan tujuan asalnya. Ikhtiar yang dia lakukan adalah menggagas semacam paradigma baru, yang ia sebut sebagai sekolah berbasis multiple intelligences (MI). Yakni, sekolah yang menghargai berbagai kecerdasan siswa.

Kesadaran tersebut bersandar pada suatu teori kecerdasan yang mengalami puncak perubahan paradigma pada 1983, saat Dr Howard Gardner -pemimpin Project Zero Harvard University- mengumumkan perubahan makna kecerdasan dari pemahaman sebelumnya. Implikasinya, teori MI yang banyak diikuti oleh psikolog dunia yang berpikiran maju mulai menyita perhatian masyarakat. Betapa tidak, MI yang awalnya adalah wilayah psikologi ternyata berkembang sampai wilayah edukasi. Bahkan, telah merambah dunia profesional di perusahaan-perusahaan besar.

Tulisan Munif dalam buku ini tidak lagi menyadurkan setumpuk teori-teori pendidikan, tetapi secara nyata merupakan kombinasi antara teori dan praktik yang ia kembangkan dan terbukti telah berhasil, setidaknya di tempat ia melakukan eksperimen di sejumlah sekolah di Jawa Timur. Antara lain, SMP YIMI Full Day School Gresik dan salah satu MTs (madrasah tsanawiyah/SMP) dan MA (madrasah aliyah/SMA) di Bondowoso.

Ada banyak contoh sekaligus motivasi bagi pengemban lembaga pendidikan yang oleh Munif dibagikan dalam buku ini. Salah satu kisah nyata penuh haru yang tak luput dari pewartaan Munif adalah soal bagaimana ia berusaha menghidupkan (kembali) sekolah menengah di pelosok kota terpencil di Bondowoso, yang jika ditempuh dari Surabaya memerlukan waktu kurang lebih 5 jam.

Konon, pada awalnya, dinas pendidikan setempat berencana menutup sekolah tersebut karena kepercayaan masyarakat yang terus menipis. Tak terbayangkan, untuk tingkat MTs/SMP dan MA/SMA, sekolah yang dibangun pada 1912 (jauh sebelum Indonesia merdeka) itu rata-rata hanya mendapatkan dua siswa baru setiap tahun, padahal jumlah gurunya 16 orang. Sekolah dengan dua siswa dan 16 guru sangatlah timpang. Dari fenomena yang memprihatinkan ini, setelah diamati dan diteliti oleh Munif, ternyata ditemukan beberapa masalah. Di antaranya, kompetisi guru yang kurang, problem internal yayasan, serta rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah (hlm 6).

Karena itu, pengalaman-pengalaman empiris yang dikemukakan Munif sungguh merupakan sumbangsih yang sangat berharga bagi pengembangan pendidikan nasional ke depan. Salah satu terobosan yang dikonstruksi oleh Munif adalah mengubah haluan tentang arti atau makna kecerdasan, yang tidak dibatasi oleh hasil tes formal. Bagi Munif, kecerdasan itu multidimensi dan merupakan proses discovering ability. Kecerdasan seseorang dapat dilihat dari banyak dimensi, tidak hanya kecerdasan verbal (berbahasa) atau kecerdasan logika.

Gardner dengan cerdas memberikan label ''multiple'' (jamak atau majemuk) pada luasnya makna kecerdasan. Gardner secara sengaja tidak memberikan label tertentu pada makna kecerdasan seperti yang dilakukan oleh para penemu teori kecerdasan lain, misalnya, Alferd Binet dengan IQ, emotional quotient oleh Daniel Goleman, dan adversity quotient oleh Paul Scholtz. Dengan teori MI, ranah kecerdasan tersebut memungkinkan terus berkembang (hlm 75).

Menurut Munif, sebenarnya tidak ada siswa yang bodoh dalam kegiatan belajar. Seluruh siswa dipastikan pintar dan cerdas menurut kecenderungan masing-masing. Lalu, bagaimana menguji teori ini? Di samping perlunya mengembangkan metode belajar yang sesuai dengan paradigma MI bagi guru-gurunya -juga strategi eksperimen yang dikembangkan Munif di tempat ia mencurahkan tenaga dan pikirannya itu-adalah menerima seluruh siswa tanpa tes dan memilah-milah kemampuan kognitif yang ditunjukkan dalam rapor sekolah sebelumnya.

Munif selalu menggelorakan kepada khalayak, termasuk di dalam buku ini, bahwa sekolah unggul itu adalah sekolah yang memanusiakan manusia. Artinya, menghargai setiap potensi yang ada pada diri siswa. Sekolah yang membuka pintunya kepada semua siswa, bukan dengan menyeleksinya dengan tes-tes formal yang memiliki interval nilai berupa angka-angka untuk menyatakan batasan diterima atau tidak.

Indikator sekolah unggul bagi Munif adalah the best process, bukan the best input. Artinya, sekolah unggul harus menerima siswa dalam kondisi kognitif yang beragam, tidak harus menerima siswa yang pandai-pandai. Kondisi itu merupakan konsekuensi logis dari teori MI yang di dalamnya memiliki metode discovering ability. Yakni, menekankan proses menemukan kemampuan seseorang.

Di sini, guru sangat berperan dalam menemukan dimensi kecerdasan seorang anak didik. Jika yang ditemukan adalah kelemahan dalam satu jenis kecerdasan, kelemahan itu harus dimasukkan ke laci dan dikunci rapat-rapat. MI menyarankan kepada kita untuk mempromosikan kemampuan atau kelebihan seorang anak dan mengubur ketidakmampuan atau kelemahan anak. Proses menemukan itulah yang menjadi kecerdasan seorang anak.

Akhirnya, dalam banyak hal, harus diakui bahwa Munif sesungguhnya berutang budi kepada teori-teori yang dibangun Howard Gardner. Delapan kecerdasan yang dikemukakan Gardner -kecerdasan lingusitik, matematis-logis, visual-spasial, musikal, kinestetis, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis- merupakan dimensi-dimensi kecerdasan yang selalu ada dalam diri setiap orang, tak peduli siapa dan di mana ia tinggal. Selamat membaca. (*)

Judul buku: Sekolahnya Manusia

Penulis : Munif Chatib

Penerbit : Kaifa (Kelompok Mizan)

Cetakan : I, 2009

Tebal : xxiii + 186 halaman
» Read more → Memajukan Sekolah tanpa Diskriminasi

Jumat, 18 Desember 2009

Meramu Tradisi dan Modernitas


Buku ini adalah dedikasi seorang Zamakhsyari Dhofier terhadap dunia pesantren yang telah membesarkan namanya. Sebelumnya, Pak Zam -demikian panggilan akrabnya- juga menerbitkan buku bertajuk kepesantrenan yang telah diterbitkan dalam tiga bahasa (Indonesia, Jepang, dan Inggris). Buku yang semula merupakan disertasi itu berjudul Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (terbit 1982).

Studi kepesantrenan dipilih Pak Zam bukan semata karena kepentingan akademik formal. Tetapi, lebih dari itu, Pak Zam memiliki kepedulian ihwal pentingnya pendidikan di lingkungan pesantren dikembangkan agar mampu bersaing di pentas internasional. Sebab, dalam sejarah peradaban Indonesia modern, eksistensi pesantren telah memainkan peran cukup penting dan mampu mewarnai dinamika pendidikan sejak Indonesia belum merdeka. Meski demikian, waktu itu pesantren pada umumnya masih dikenal sebagai lembaga tradisional pinggiran yang selalu ditentang oleh Belanda.

Maka, di awal abad ke-19, atas saran Snouck Hurgronje, Belanda mulai memperkenalkan sekolah modern model Eropa. Tujuannya adalah memisah tradisi dan modernitas untuk menandingi pengaruh pesantren yang sudah mengakar di Nusantara. Namun, rekayasa Snouck itu tidak berjalan mulus. Sebab, Bung Karno dan Bung Hatta bergandengan tangan dengan KH A. Wahid Hasyim untuk mendirikan Depdiknas dan Depag sebagai tonggak pembangunan Indonesia Modern (hlm 153).

Kedua departemen tersebut hingga kini tidak hanya berupaya memadukan langkah kebijakan dan strategi pembangunan pendidikan nasional, tetapi juga memberikan bantuan pengembangan universitas-universitas di kompleks pesantren yang dinilai sangat potensial.

Tradisionalisme Pesantren

Meski dewasa ini banyak pesantren yang sudah menerapkan sistem pendidikan formal lebih modern, itu tidak berarti pesantren melepas begitu saja atribut tradisionalismenya. Antara tradisi dan modernitas tetap diramu untuk menghasilkan generasi-generasi andal yang berkarakter kuat. Pesantren saat ini tentu tidak ingin -meminjam bahasa Prof Yudian Wahyudi- melakukan ''bunuh diri peradaban'' dengan memisah secara ekstrem antara ilmu umum dan agama. Meski disadari masih ada yang demikian, hal itu terjadi karena dilatarbelakangi minimnya tenaga pengajar dan sarana pendidikan yang tidak memadai. Di antara 21.521 pesantren di Nusantara, yang bertahan dengan sistem pendidikan tradisional murni mungkin hanya sekitar 0,5 persen.

Dengan demikian, dalam wacana pendidikan modern, tradisionalisme dalam konteks kepesantrenan tentu tidak bisa dibuang begitu saja karena ia adalah roh pesantren itu. Tradisi yang coba dipertahankan pesantren tidak berarti bermakna statis, kumuh, dan anti peradaban. Tetapi sebaliknya, dengan tradisi luhur itulah pesantren membangun karakter pendidikan yang berakar pada semangat kebersamaan, kesederhanaan, dan kepedulian kepada kaum lemah.

Dinamika pendidikan yang disuguhkan pesantren pun kini lebih segar, inklusif, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan modernitas. Setelah Indonesia merdeka, banyak intelektual pesantren (kiai atau ulama) yang berijtihad untuk menemukan pola pendidikan lebih prospektif: bagaimana meramu tradisi dan modernitas untuk mencetak generasi-generasi yang andal di bidang agama dan sains-teknologi. Ijtihad itulah yang kelak melahirkan sekolah-sekolah, institut-institut formal, atau universitas-universitas di lingkungan pesantren yang keberadaannya cukup diperhitungkan.

Peluang universitas pesantren untuk menyejajarkan diri dengan universitas-universitas bergengsi seperti UGM, UI, ITB, dan Unair sangat terbuka lebar mengingat saat ini banyak jebolan pesantren yang mampu menaklukkan panggung internasional. Mereka tentu sangat dibutuhkan untuk ikut serta mengembangkan sekolah-sekolah tinggi atau universitas di pesantren.

Pesantren dan Terorisme

Salah satu subbab cukup menarik yang ditulis Pak Zam dalam buku ini adalah tentang terorisme. Kenapa Pak Zam tertarik menyoroti masalah itu dan apa hubungannya dengan pesantren? Sebagai lembaga pendidikan yang dalam sejarahnya selalu dipandang inferior, akhir-akhir ini pesantren kerap dituduh sebagai institusi yang melahirkan sosok-sosok teroris. Apalagi sejak peristiwa bom Bali I dan II serta pengeboman-pengeboman di tempat-tempat lain, pesantren dituduh sebagai ''sarang teroris'' karena para santri sudah termakan oleh ''doktrin jihad'' yang telah diajarkan kiai atau ustad.

Atas kejadian yang tidak mengenakkan itulah, Pak Zam seperti terpanggil untuk meluruskan kembali misi luhur pesantren dalam kaitannya dengan masalah terorisme. Tradisi pesantren, menurut Pak Zam, justru bias membantu pemerintah dan rakyat Indonesia untuk mengikis terorisme dengan berbagai cara.

Pertama, meningkatkan lulusan pesantren, yang pada umumnya kaum miskin di pedesaan, menjadi sarjana lulusan universitas di pesantren sehingga lebih berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Kedua, mengembangkan volume tafsir moderat. Itu melibatkan proses akulturasi: membedakan Islam dengan budaya Arab (dearabisasi) dan menjadikan budaya atau adat ('urf) Indonesia sebagai sumber hukum Islam di Indonesia dalam memecahkan persoalan yang belum diatur dalam Alquran dan hadis. Ketiga, mengarahkan jihad (dari terorisme) ke penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (hlm 150).

Masalah terorisme memang menyebabkan hubungan antara ''Islam'' dan ''Barat'' kembali menegang sehingga perlu dicari titik pangkalnya kenapa itu bisa terjadi. Sebab, pelaku terorisme memiliki tujuan-tujuan politis terselubung yang kerap berlindung di balik teks-teks agama sebagai alat justifikasinya. (*)
» Read more → Meramu Tradisi dan Modernitas
 

Thank you for visited me