Tasu’a berasal dari bahasa arab tis’a artinya sembilan, sementara ‘asyura berasal dari ‘asyara artinya sepuluh. Puasa Tasu’a dan ‘Asyura dikerjakan pada tanggal 9 dan 10 Muharram pada Kalender Hijriyah. Tahun ini (1432 H) puasa Tasu’a dan Asyura dikerjakan pada hari Rabu dan Kamis (15 dan 16 Desember 2010 ). Hukum puasa ini adalah sunnah; dianjurkan untuk dikerjakan namun tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya.
Rasulullah SAW berdabda: “Puasa itu bisa menghapuskan dosa-dosa kecil pada tahun kemarin.” –(HR Muslim)
Puasa ‘Asyura sudah dilakukan oleh masyarakat Quraisy Makkah pada masa jahiliyyah. Rasulullah SAW juga melakukannya ketika masih berada di Makkah maupun seteleh berada di Madinah.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah sempat diprotes oleh umat Islam di Madinah: “Ya Rasulallah, hari itu (’Asyura )diagungkan oleh Yahudi.” Maksudnya, kenapa umat Islam mengerjakan seseatu persis seperti yang dilakukan oleh umat Yahudi? Beliau lalu bersabda: "Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.” Setelah itu, tidak hanya disunnahkan puasa pada tanggal 10 tapi juga tanggal 9 Muharram. Sayang, sebelum datang tahun berikutnya Rasulullah telah wafat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 dimaksudkan agar tidak persis seperti yang dilakukan oleh umat pada masa Nabi sebelumya, yakni Yahudi dan Nashrani. (Fathul Bari 4: 245)
Soal kemiripan dengan puasa umat yahudi ini diriwayatkan bahwa ketika tiba di Madinah, Rasulullah melihat orang-orang Yahudi di sana juga berpuasa pada hari ‘Asyura. Beliau bertanya: “Puasa apa ini?" Mereka menjawab: “Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur.” Maka beliau bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” (HR Bukhari)
Jauh-jauh hari setelah Rasul wafat, hari ‘Asyura' dijadikan oleh kelompok Syi'ah, yakni kelompok yang sangat mengagungkan Sayyidina Ali dan keluarganya, sebagai hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Kebetulan Sayyidina Hussein terbunuh pada hari itu juga di Padang Karbala.
Pada setiap hari ‘Asyura, kelompok Syiah memperingati kematian Husen dengan cara berkumpul, menangis, meratapinya secara histeris, membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukuli badan mereka dengan rantai besi dan belati, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan lain sebagainya.
Sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh orang Syi'ah di atas, orang kelompok umat Islam yang lain menjadikan hari Asyura' sebagai hari raya, pesta dan serba ria. Dua budaya yang sangat kontras ini terutama berlangsung pada jaman dinasti Buwaihi (321H-447 H.). Pada masa itu terkenal adanya pertentangan antara Sunni dan Syi'ah dengan tajamnya.
Karena itu, sedianya, hari ‘Asyura diisi dengan ibadah puasa saja sebagaimana telah dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tentang keutamaan puasa ‘Asyura Ibnu Abbas menyatakan: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa pada suatu hari karena ingin mengejar keutamaannya selain hari ini (‘Asyura) dan tidak pada suatu bulan selain bulan ini (maksudnya: bulan Ramadhan)." (HR. Al-Bukhari.)